Artinya:
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Luqman 12)
Sidang Jum’at yang berbahagia Ayat di atas merupakan sindiran Allah SWT agar hamba Nya selalu bersyukur, karena pada hakekatnya syukur adalah untuk dirinya sendiri, dalam artian bahwa Allah tidak merasa diuntungkan dan tidak merasa dirugikan atas syukurnya seseorang. Secara implisit Allah juga memberitakan melalui surat Ibrahim ayat 7 :
Artinya:
“Sesunguhnya jika kamu bersvukur, pasti Kami akan menambah (nikrnat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Dan kenyataannya orang yang tidak pandai bersyukur, hidupnya tidak pemah mengalami sakinah (ketenangan hidup). Ketika mendapatkan rezki sedikit, menggerutu, tetapi begitu diberikan ekstra income yang cukup banyak, bingung karena banyak planing yang hams dikeijakan. Inilah tipe orang yang tidak pandai bersyukur.
Di dalam surat Arahman Allah memperingatkan melalui ayat yang diulang-ulang sampai tiga puluh satu kali. Bunyi ayat yang diulang-ulang itu adalah :
Artinya:
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan"
Hal ini menunjukkan bahwa Allah juga di dalam menyampaikan sesuatu itu mempergunakan sistem dan metode agar sampai kepada sasaran.
Sebagai interpretasi adalah sikap keras kepala. Mengerasnya hati seseorang itu menunjukkan terkunci dan tertutup hatinya dan seruan-seruan Allah. Sebagaimana firman Allah :
Artinya :
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat”. (Al Baqarah 7).
Sidang Jum’at yang berbahagia.
Orang yang keras kepala itu diibaratkan sebagai orang yang meninggal hatinya sebelum ajalnya tiba. Untuk mengungkap kekayaan dan pemberian Allah yang Maha Hebat, yang tidak terbatas jumlahnya itu harus selalu diusahakan, terutama mengungkap kekayaan yang ada pada diri kita. Organ tubuh, pemberian Allah yang menempel pada diri kita ini tidak temilai harganya, tidak bisa dinilai dengan rupiah atau bahkan dengan dolar.
Seorang ekonom Amerika menghargai person (jiwa) manusia mencapai empat ratus milyard dolar. Harga manusia memang sangat mahal, organ tubuhnya, potensinya, yang saat sekarang oleh Pemerintah sedang di dengung-dengungkan yakni adanya sum ber daya manusia yang berkwalitas.
Sebagai seorang muslim yang berkwalitas seyogyanya bisa bermanfaat tidak hanya untuk dirinya, keluarganya, tetapi juga untuk siapa saja, sebagainiana harapan Rasulullah “Khairunnas anfa’uhum linnas”, sebaik-baik manusia adalah manusia yang berguna bagi manusia lainnya.
Kalau ada manusia yang hidupnya untuk dirii dan keluarganya, tanpa memperdulikan orang lain berarti hidupnya belum maksimal, dengan demikian kriteria khalifah ditinggalkan. Oleh karena itu syukurlah terhadap nikmat Allah yang dikaruniakan kepada kita.
Syukur itu selain harus diungkapkan dengan bahasa lisan, dengan ucapan “Alhamduliulahi Rabbil-’alamien” juga harus diungkapkan dengan bahasa perbuatan (fi’li).
Kalau karunia Allah itu benipa hanta kekayaan, maka syukur dengan perbuatan (bil-fi’li) adalah dengan menyisihkan sebagian harta kita untuk mereka yang membutuhkan, Pemerintah mengistilahkan dengan pengentasan kemiskinan. Dan inilah hakekat syukur yang sebenarnya. Ingatlah bahwa hakekat syukur itu adalah untuk diri sendiri. Allah tidak merasa diuntungkan atas syukur seseorang.
Seorang Sufi pernah mengungkapkan dialog antara Sayidina Ali dengan seorang ahli ibadah (‘abid). Kepada seorang ‘abid itu Sayidina All bertanya; “Untuk apa kamu beribadah "
‘Abid menjawab: “Saya beribadah agar saya jauh dan neraka”. Kata Ali: “Ibadahmu sia-sia, sebab motivasimu bukan semata-mata karena Allah”.
Kepada seorang ‘Abid lainnya, Ali bertanya lagi: “Untuk apa kamu beribadah”. ‘Abid itu menjawab: “Saya beribadah agar saya dekat dengan syurga”.
Kata Ali: “Ibadah mu sia-sia, sebab motivasi ibadahmu bukan karena Allah semata”. Seorang ‘Abid itu kemudian bertanya: “Lalu bagaimana saya harus beribadah, wahai Sayidina Ali?”.
Sayidina Ali berkata: “Ya Allah, aku mengabdi kepada-Mu bukan karena aku takut neraka-Mu dan rakus syurga Mu, tetapi saya mengabdi kepada-Mu karena Engkau pantas kuabdi”.
Ibadah semata karena Allah, jangan ada embel-embel lain, apalagi beribadah karena ingin kaya, ingin naik jabatan dan karena keinginan tertentu itu jauh dan niat karena Allah (nawaitu hhlah).
Niat ibadah tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban, sehingga orang yang akan beribadah perlu mempersiapkan din sebaik mungkin, agar ketika dalam pelaksanaan ibadah tidak ada keraguan, bahkan kita mendapatkan kemantapan dan kekhusyu’an dalam beribadáh.
Ketenangan dan kekhusyu’an beribadah dapat kita rasakan manakala setiap pelaksanaan ibadah selalu kita awali dengan pembersihan diri dari segala kotoran dan dosa.