Artinya:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orango rang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (Al Mujaadilah ayat 11).
Marilah kita hiasi hidup dan kehidupan ini untuk bershalawat dan salam dengan maksud memohon kepada Allah agar kebahagiaan dan kesejahteraan-NYa selalu dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga, sahabat dan pengikut setianya sampai di akhirat kelak.
Hendaknya kita waspada, setelah selesai melaksanakan ibadah puasa, ibadah yang berat tetapi penuh kenikmatan, sebab saat itu Allah menurunkan rabmat, maghfirah dan kebebasan dari siksa api neraka.
Dilengkapi dengan saling maaf memaafkan, yang ditandai dengan ucapan-ucapan yang bagus, “Taqabbalallah mina waminkum, minal-’aidin wal-faizin”, dan diabadikan saling berjabat tangan.
Semoga jabatan tangan ini sesuai dengan petunjuk Rasul, yaltu, “Barang siapa dua orang muslim bertemu, kemudian saling beriabatan tangan, maka ampunan Allah akan datang sebelum kedua.tangan ¡tu berpisah”.
Berjabatan tangan yang dimaksud adalah bathin dan lahirnya bertekad untuk saling memaafkan. Malaikat akan turun melaporkan perbuatan itu dan mohon kepada Allah agar kesalahan-kesalahan orang tersebut segera diampuni. Oleh karena itu, kebiasaan berjabatan tangan seusai shalat hendaknya diniatkan untuk saling memaafkan. Memohon maaflah bila bersalah.
Peningkatan amal ibadah tetapharus kita usahakan seusai ibadah yang penuh berkah ini. Allah memberikan petunjuk agar kita mampu mengemban bekas-bekas Ramadhan (asarush-shiyam) yakni dengan iman dan ilmu. Sebab iman dan ilmu merupakan dasar ketinggian derajat manusia. Sebagaimana terlukis dalam surat Al-Mujadilah ayat 11 di atas. Tentang iman dan ilmu ini mengingatkan terhadap peristiwa yang terjadi empat belas abad yang lampau, yaitu pertanyaan seorang sahabat yang masih ragu-ragu atas kerasulan Muhammad.
Pertanyaan yang menggelitik itu adalah “Wahai Muhammad, benarkah engkau seorang Nabi dan Rasul Allah. Kalau engkau seorang Nabi dan Rasul, mana mukjizatmu”. Mukjizat adalah keistimewaan yang mempunyai dua fungsi, fungsi mukjizat pertama adalah menambah keimanan kepada orang yang telah beriman, dan fungsi kedua adalah menakutkan bagi mereka yang kafir. Mendapat pertanyaan seperti ini Rasulullah terdiam dan berfikir, apa sebetulnya mukjizatnya. Karena Rasulullah terdiam, sahabat tersebut memberikan argumentasi, bukankah Nabi-Nabi yang terdahulu untuk membuktikan misi risalahnya selalu dibekali mukjizat dari Allah.
Seperti Nabi Nuh, dengan banjir besarnya. Nabi Ibrahim, kebal dan api. Nabi Musa, dengan keajaiban tongkatnya. Nabi Daud, dengan kemerduan suaranya. Nabi Sulaiman, mampu berkomunikasi dengan semua jenis binatang dan rnakhluk halus.
Demikian juga Nabi ‘Isa, beliau dibekali kemampuan untuk menyembuhkan penyakit lepra, yang pada abad keduapuluh baru diketahui rahasianya. Lebih dari itu Nabi ‘Isa mampu menyembuhkan penyakit buta. Dan yang lebih hebat beliau mampu menghidupkan orang yang sudah mati dengan izin Allah.
Perlu diwaspadai bahwa abad kedua puluh ini para ahli biologi dan dokter dokter kita sudah mencoba ingin menghidupkan manusia. Dan ternyata sekarang hampir bisa, mungkin tinggal beberapa organ yang belum, nyawa misalnya. Suara juga sudah bisa, kita pernah lihat robot yang bisa berbicara.
Siang itu Nabi belum bisa menjawab pertanyaan sahabatnya kemudian beliau pulang dan berusaha mencari jawabannya melalui shalat tahajud. Malam itu Rasul ditemani isteninya Siti ‘Aisyah bermunajat memohon petunjuk kepada Allah, dan malam itu juga Rasul mendapatkan jawabanya. Pertanyaan sahabat tersebut merupakan sebab turunnya ayat 190 dan 191 surat Ali ‘Imran.
Artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-o rang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dan siksa neraka “.
Rasulullah menangis tersedu di pembaringannya ketika menerima turunnya ayat tersebut, sampai Rasul tidak mendengar suara adzan sahabat Bilal. Di saat para sahabat gelisah menunggu kehadiran Rasul di Masjid, sahabat Bilai datang menghampiri Rasul yang masih menangis di pembaringannya, seraya berkata, “Ya Rasul kenapa engkau menangis” Beliau menjawb: “Wahai Bilal, sungguh rugi ummatku nanti yang tidak memperhatikan wahyu yang baru saja turun”.
Wahyu (surat Ali ‘Imran 190—191) di atas memerintahkan agar kita selalu ingat (dzikir) kepada Allah dan berfikir tentang ciptaan-Nya. Ayat ini sangat terkait dengan surat Al-Ghasyiyah ayat 17 s/d 20.
Artinya:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagai mana dia diciptakan. Dan langit bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi bagaimana ¡a dihamparkan?”.
Kita diperintahkan untuk senantiasa berfikir tentang ciptaan Allah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdzikir dan berfikir adalah iman dan ilmu.